Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menyeneraikan faktor yang menyebabkan badan tersebut menolak undangan untuk menerima Deklarasi Hak Asasi Manusia Asean.
(English translation below)
LBH Jakarta kembali menyatakan sikap menolak Deklarasi Hak Asasi Manusia Asean (Asean Human Rights Declaration/AHRD).
Direktur LBH Jakarta, Febi Yonesta, mendapat undangan dari Sekretariat Asean untuk menerima secara simbolis AHRD pada acara perayaan hari Asean. LBH Jakarta tetap pada penilaian kami bahwa banyak pasal-pasal dalam AHRD yang dibawah standar HAM Internasional. Acara yang bertajuk Celebrating Asean Day ini rencananya akan diselenggarakan pada pagi hari Jumat, 23 Agustus 2013. Dalam acara ini, rencananya akan diadakan juga peluncuran AHRD, dimaan secara simbolis Direktur LBH Jakarta diminta menerimanya.
Atas undangan dari Sekretariat Asean, LBH Jakarta telah menolak untuk menerima AHRD secara simbolis, sesuai dengan sikap LBH Jakarta selama ini terhadap AHRD. Sebelumnya pada tanggal 14 November 2012 yang lalu, LBH Jakarta bersama sejumlah perwakilan masyarakat sipil yang diundang oleh Kementerian Luar Negeri untuk berdialog dengan Menteri Luar Negeri, Bapak Marty Natalegawa, telah menyatakan sikap kami bahwa kami menolak diadopsinya AHRD oleh Kepala Negara Asean. Namun kemudian pada tanggal 18 November 2012, KTT Asean mengadopsi Pernyataan Phnom Penh yang menjadi satu kesatuan dengan AHRD.
- Sign up for Aliran's free daily email updates or weekly newsletters or both
- Make a one-off donation to Persatuan Aliran Kesedaran Negara, CIMB a/c 8004240948
- Make a pledge or schedule an auto donation to Aliran every month or every quarter
- Become an Aliran member
Sikap penolakan LBH Jakarta didasari oleh beberapa alasan sebagai berikut:
Seharusnya deklarasi atau instrumen regional menetapkan standar yang lebih tinggi dari standar internasional, dalam hal ini Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Standar HAM regional yang lebih baik dari DUHAM, yang disusun 34 tahun yang lalu, tentu akan menunjukkan komitmen negara anggota Asean pada dunia internasional. Namun sebaliknya, dengan menetapkan standar yang lebih rendah dari DUHAM dan bahkan bertentangan darinya, akan melemahkan penegakan dan pelaksanaan HAM di wilayah Asia Tenggara.
Apabila disahkan, rancangan AHRD akan menjadi legitimasi bagi pemerintah Asean untuk mengelak dari kewajiban internasional untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM. Apabila AHRD dengan kondisi demikian tetap disahkan, dikuatirkan bahwa AHRD yang seharusnya mempengaruhi perubahan legislasi dan pelaksanaan HAM di kawasan ASEAN menjadi lebih baik, malah akan semakin memperburuk. Padahal, AHRD diharapkan akan menjadi landasan penyusunan Konvensi HAM Asean, dan Deklarasi tidak dapat direvisi atau diamandemen di masa mendatang.
Dalam prosesnya, penyusunan AHRD tidak transparan dan tidak benar-benar melibatkan masyarakat. Hal ini bertentangan dengan salah satu tujuan Asean untuk memajukan ASEAN yang berorientasi pada rakyat, dimana rakyat didorong untuk berpartisipasi dan mendapatkan keuntungan darinya (Pasal 1.9 Piagam Asean). Dalam kedua proses konsultasi resmi AICHR dengan perwakilan masyarakat sipil yang dilakukan pada tahun 2012, bahkan rancangan AHRD tidak secara resmi dibagikan.
Dalam konteks Indonesia secara spesifik, Indonesia telah meratifikasi sebagian besar konvensi pokok HAM Internasional, yang merefleksikan standar HAM yang berlaku di Indonesia. Namun kondisi pelaksanaan HAM di Indonesia sejauh ini belum memenuhi standar yang berlaku tersebut. Adanya proses penyusunan AHRD selama ini memberikan harapan baru bagi masyarakat menuju pemenuhan HAM sesuai standar internasional. Dengan mendukung AHRD dengan segala penyimpangannya dari standar dan prinsip HAM Internasional, Indonesia akan menurunkan standarnya dan dikuatirkan pelaksanaan HAM di Indonesia akan semakin memburuk. Apabila Indonesia tidak memperjuangkan dipenuhinya standar HAM Internasional dalam AHRD, akan menunjukkan bahwa Indonesia tidak lagi memegang peran kunci dan pemberi teladan bagi negara anggota ASEAN dalam bidang HAM.
Febi Yonesta mengatakan, “Penerimaan Indonesia atas AHRD mengancam kemajuan demokrasi dan HAM Indonesia, dan Asia Tenggara pada umumnya”. Untuk itu, LBH Jakarta tidak akan memenuhi undangan dari Sekretariat ASEAN untuk menerima ARHD secara simbolis. Hal ini juga untuk mempertahankan solidaritas dengan rekan-rekan masyarakat sipil di Indonesia dan Negara anggota Asean lainnya, yang juga menolak AHRD.
LBH Jakarta rejects invitation to symbolically receive Asean Human Rights Declaration
LBH Jakarta (the Jakarta Legal Aid Institute) reaffirms our stand to reject the Asean Human Rights Declaration (AHRD).
LBH Jakarta director Febi Yonesta was invited by the Asean Secretariat to symbolically receive the AHRD during the Asean Day celebration.
LBH Jakarta holds the view that the AHRD contains many articles which are lower than international human rights standards. The event, which was titled “Celebrating Asean Day”, was planned for 23 August 2013. In the event, it was planned to include the launching of the AHRD, at which our director was invited to symbolically receive it.
LBH Jakarta has turned down the invitation in line with our stand on the AHRD which we had already stated. On 14 November 2012, LBH Jakarta and several civil society representatives were invited by the Ministry of Foreign Affairs of Indonesia to have a dialogue with the Minister, Marty Natalegawa, and at that time we stated our view that LBH Jakarta rejects the adoption of the AHRD.
But, on 18 November 2012, Asean Heads of States adopted the Declaration and signed the Phnom Penh Statement anyway.
Our rejection was based on several reasons outlined below:
A declaration or regional instrument should set a higher standard than existing international standards or in this case the Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Higher regional human rights standards than the UDHR, which was drafted 34 years ago, would reflect the commitment of Asean member states to the international community.
Conversely, setting a lower standard than the UDHR and even contradicting it will weaken the enforcement and implementation of human rights in Southeast Asia. The AHRD could be a legitimisation of Asean governments to avoid international responsibility to respect, protect and uphold human rights.
The adoption of AHRD hopefully will not lead to legislative amendments and human rights implementation resulting in worse condition as the AHRD was expected to be the platform of human rights conventions in Asean, and a declaration cannot be revised or amended.
The drafting process of the AHRD was not transparent and did not involve civil society. It contradicts one of the Asean objectives to promote a people-oriented Asean in which all sectors of society are encouraged to participate in, and benefit from, the process of Asean integration and community building (Paragraph 1.13 of Asean Charter). In both the AICHR’s formal consultation processes with civil society in 2012, the draft was not even distributed.
In the context of Indonesia specifically, Indonesia has ratified most of the core international human rights conventions which reflect the human rights standards in Indonesia. However, so far the conditions arising from the human rights implementation in Indonesia have not met those standards. The drafting process of the AHRD with all its defiance of international human rights standards and principles will lower Indonesia’s standards and possibly worsened the implementation of human rights in Indonesia. When Indonesia did not fight for the fulfilment of international human rights standard in the AHRD, it shows that Indonesia no longer plays a key role and sets an example on human rights for other Asean member states.
Febi Yonesta stated, “Indonesia’s agreement on the AHRD threatens the progress of democracy and human rights in Indonesia, and Southeast Asia in general”.
Thus, LBH Jakarta will not attend the invitation from the Asean Secretariat to symbolically receive the AHRD. It also maintains solidarity with our civil society colleagues in Indonesia and other Asean member states, who also reject the AHRD.
22 Ogos/August 2013
AGENDA RAKYAT - Lima perkara utama
- Tegakkan maruah serta kualiti kehidupan rakyat
- Galakkan pembangunan saksama, lestari serta tangani krisis alam sekitar
- Raikan kerencaman dan keterangkuman
- Selamatkan demokrasi dan angkatkan keluhuran undang-undang
- Lawan rasuah dan kronisme