Home Civil Society Voices 2014 Civil Society Voices Mansuhkan Akta Orang Papa 1977

Mansuhkan Akta Orang Papa 1977

FILE PHOTO: 1901.blogs.com/buddyfication/food_for_the_homeless_programme/

Follow us on our Malay and English WhatsApp, Telegram, Instagram, Tiktok and Youtube channels.

Tidak boleh dibanteras kehidupan jalanannya dengan cara membelakangkan hak dan kebebasan warga jalanan yang memang sedang mengalami kemiskinan dan tidak bertempat tinggal, ujar Food Not Bombs-KL. (English version below)

homeless-people-queue-at-a-soup-kitchen

Kami mengambil serius terhadap penggunaan Akta Orang-Orang Papa 1977 (Akta 183) oleh pihak kerajaan dalam usaha membanteras komuniti warga jalanan dan “kepapaan” komuniti tersebut.

Akta tersebut telah digunapakai sebagai platform untuk pihak pegawai Kebajikan Masyarakat dan pihak berkuasa untuk menjalankan pelbagai usaha pembanterasan, sebagai contoh, Operasi Gelandangan, yang menjejaskan ribuan warga jalanan di negara ini.

Lebih spesifik, Akta tersebut memberikan kuasa kepada pihak berkuasa untuk mengambil dalam jagaan mereka, mana-mana warga jalanan dan dihadapkan ke Majistret, menahan (sehingga tiga tahun) dan mengganggu-gugat warga jalanan yang diputuskan sebagai orang papa. Warga jalanan yang ditangkap akan ditahan di suatu tempat tahanan yang jauh dan terpencil yang mana operasinya dikelolakan oleh Kementerian Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat (KPWKM).

Bertentangan dengan apa yang dicerminkan oleh pihak media dan kerajaan, Akta tersebut sama sekali bukan suatu sistem di mana usaha penyelamatan, pemulihan dan penjagaan warga “papa” dijalankan oleh pihak kerajaan. Akta tersebut merupakan peninggalan undang-undang represif koloni British yang diperkenalkan pada tahun 1872.

Sama seperti undang-undang anti-“gelandangan” sejak 140 tahun yang lalu, Akta tersebut adalah tidak lari dari sifatnya yang menghukum (punitif) dari sudut intipati dan pelaksanaan. Ia memudahkan kepolisan, gangguan, dan pengusiran secara paksa warga jalanan dari ruang awam. Ini melanggari hak dan kebebasan bergerak, perlindungan sama rata dan kebebasan kediri.
Pihak berkuasa sering menjalankan operasi menangkap, ujian dadah, intimidasi dan gangguan secara sistematik terhadap warga jalanan menerusi Operasi Gelandangan.

‘Benefisiari’ daripada Akta tersebut tidak boleh membantah dan merayu terhadap tindakan dan campur tangan pihak kerajaan. Malah, lebih teruk sebarang ‘tentangan’ daripada warga jalanan termasuk melarikan diri dari pusat tahanan boleh dikenakan dengan hukuman penjara. Secara ringkasnya, penyelamatan, pemulihan dan penjagaan dari Akta tersebut lebih menyerupai kepolisan sosial dari kebajikan sosial.

Warga jalanan mengalami masalah kesihatan, kecederaan, eksploitasi kerja, keberhutangan dan diskriminasi; namun, pelaksanaan polisi berhubungan dengan Akta tersebut hanya menambahkan lagi kesusahan warga jalanan. Warga jalanan ini dilucutkan hak pemilikan, maruah diri dan hak dan kebebasan perlembagaan.

Namun demikian, baru-baru ini KPWKM ada mengumumkan suatu pelan untuk meminda Akta tersebut untuk memastikan hukuman keras terhadap aktiviti “mengemis” atau mereka yang didapati “mengemis”.

Kami ingin menegaskan bahawa kami membantah sekeras-kerasnya sebarang usaha untuk menjenayahkan aktiviti “mengemis” kerana ia adalah suatu simptom masalah sosial dan ekonomi yang lebih kompleks – dan kesejahteraan masyarakat tidak boleh dicapai melalui pemfitnahan dan pemencilan sosial terhadap warga jalanan.

Akta tersebut membazirkan sumber awam ke atas aktiviti operasi seperti penangkapan, reman dan penahanan warga jalanan. Sumber yang diboroskan itu adalah lebih bermanfaat sekiranya diperelokkannya bantuan konstruktif kepada masyarakat dari segi sosial dan ekonomi. Adalah tidak bermoral dan adil dari segi undang-undang apabila hak sivil warga jalanan dibantutkan melalui operasi-operasi penangkapan yang membuta-tuli.

Sedarilah yang kehidupan jalanan dan kemiskinan tidak boleh dibanteras dan dikawal menerusi penangkapan, penahanan dan sebarang hukuman jenayah sewenang-wenangnya. Penahanan warga jalanan secara paksa ini tentu tidak terukur dengan “keprihatinan” Akta tersebut, yakni penyelamatan, pemulihan dan penjagaan, langsung tidak sama sekali menyentuh pada akar penyebab masalah kehidupan jalanan ini.

Adalah terpesong sekali apabila kerajaan meletakkan keutamaan pada imej superfisial bandar sebagai definisi pembangunan pesat. Kami menegaskan bahawa sebuah bandar tidak nampak membangun mahupun “cantik” sekiranya pihak kerajaannya menyingkirkan warga jalanan sewenang-wenangnya tanpa mengetahui, memahami atau menyelesaikan akar penyebab masalah kehidupan jalanan.

Warga kehidupan jalanan yang kami lihat kini adalah suatu petanda bahawa keadaan sosial dan ekonomi negara ini tidak terjamin. Masalah adalah dalam bentuk dan pelaksanaan skim-skim pekerjaan, pencen, perumahan, kesihatan, pendidikan dan perlindungan sosial.

Kerajaan harus melihat hubungan secara langsung faktor-faktor yang tersebut di atas dan mengambil pendekatan serius terhadap masalah ini. Tambahan, masyarakat awam harus mengambil inisiatif untuk bangun dan menggesa pihak kerajaan untuk memikul tanggungjawab perkara ini.

Orang awam adalah berkepentingan terhadap suatu strategi jelas dari pihak kerajaan untuk mengurangkan masalah kehidupan jalanan dengan pemantauan yang berkesan serta pengambilan langkah-langkah untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi pada akar penyebabnya.

Agensi-agensi kerajaan, bukan sahaja KPWKM, harus melakukan kajian yang menyeluruh dan menggunakan maklumat dengan bijak ke arah pembangunan, kemajuan program sosial dan ekonomi dan polisi awam.

Kami menggesa supaya Akta Orang-Orang Papa 1977 (Akta 183) dimansuhkan dan satu polisi yang mengetengahkan keutamaan pada kesejahteraan dan penyertaan sosial dan ekonomi dibangunkan. Polisi dan program untuk mengatasi masalah kehidupan jalanan harus – tanpa pengecualian – dibentuk berlandaskan kesamarataan, kesaksamaan, kebebasan, nilai maruah diri mengikut kehendak dan kepentingan semua rakyat negara.

Tidak boleh dibanteras kehidupan jalanannya dengan cara membelakangkan hak dan kebebasan warga jalanan yang memang sedang mengalami kemiskinan dan tidak bertempat tinggal.

Food Not Bombs-KL
10 Jun 2014

English version

Repeal harmful Destitute Persons Act 1977

We are deeply concerned with the use of the Destitute Persons Act 1977 (DPA) by the government as a tool to address homelessness and poverty.

Since its enactment, the DPA has served as a platform for social welfare officers and local authorities to conduct round ups, such as Operasi Gelandangan, that affect thousands of people experiencing homelessness across the country.

More specifically, the law provides government officers with the powers to take into custody, detain (up to three years) and otherwise intervene in the lives of any Malaysian deemed to be “destitute”. Persons detained are kept against their will in facilities run by the Ministry of Women, Family and Community Development (MWFCD).

Contrary to media and government assurances, this is not a humanitarian system of rescue, rehabilitation, and care for “destitute persons”. It is a remnant of repressive colonial policies, introduced by the British in 1872.

Like every other anti-vagrancy law of the last 140 years, the DPA is a punitive instrument—both in premise and implementation. It facilitates policing, harassment and forced removal of homeless persons from public spaces, thereby violating constitutional rights to freedom of movement, equal protection and personal liberty.

Through Operasi Gelandangan, government officers regularly subject persons on the streets to raids, drug tests, acts of intimidation and various forms of systematic harassment. “Beneficiaries” of this system cannot decline or appeal against intervention by the state.

Worse, the law defines “resistance”, including escape from detention, as an offence punishable by imprisonment. In other words, treatment more closely resembles policing than social welfare.

People who are homeless face a multitude of troubles such as illness, injury, job exploitation, debt, and discrimination; yet practices linked to the DPA only add further strain to their lives by depriving them of possessions, personal dignity and well-being and constitutional rights and freedoms.

As harsh as the current practice is, the MWFCD recently revealed plans to amend the DPA to ensure harsher enforcement and punishment against persons found or feared to be begging. We firmly stand opposed to any criminalisation of begging, because like homelessness, it is a symptom of larger social and economic problems. Security in our communities cannot be realised through the denigration and social marginalisation of those facing poverty and exclusion.

Implementation of the DPA wastes millions in public resources on meaningless raids and detention. These raids and detention rob thousands of people—each of whom would benefit from constructive assistance—of precious time, energy, and liberties.

The time has come to realise that the DPA is not a solution to homelessness and poverty. Locking people away in ‘welfare homes’ neither qualifies as care nor gets to the root of the problem; it is morally reprehensible and legally unjust that we seek to serve someone’s best interests by suspending their constitutional rights.

The homelessness that we see today is a sign of social and economic insecurity. Homeless persons are not the problem. The problem is that, in practice, our employment, pension, housing, health, education, and social protection schemes are full of cracks, which affect all our lives.

The government needs to take the connection between these factors and homelessness more seriously.

Civil society also ought to start pushing the government to represent our interests and take greater responsibility.

Public interest lies in the development of a clear national strategy for reducing homelessness by effectively monitoring and addressing the social and economic issues at its root.

Government agencies, including but not limited to the MWFCD, ought to be actively studying homelessness and using information for the development and improvement of public programmes and policy.

We call for an immediate repeal of the Destitute Persons Act and the development of a policy framework for providing greater social and economic inclusion and security for all persons.

Policies and programmes for addressing homelessness should—without exception—be designed in accordance with the equal rights, freedoms, dignity, and needs of all citizens.

We cannot fight homelessness by trampling on the rights of persons experiencing poverty and homelessness.

Food Not Bombs-KL
10 June 2014

The views expressed in Aliran's media statements and the NGO statements we have endorsed reflect Aliran's official stand. Views and opinions expressed in other pieces published here do not necessarily reflect Aliran's official position.

AGENDA RAKYAT - Lima perkara utama
  1. Tegakkan maruah serta kualiti kehidupan rakyat
  2. Galakkan pembangunan saksama, lestari serta tangani krisis alam sekitar
  3. Raikan kerencaman dan keterangkuman
  4. Selamatkan demokrasi dan angkatkan keluhuran undang-undang
  5. Lawan rasuah dan kronisme
Support our work by making a donation. Tap to download the QR code below and scan this QR code from Gallery by using TnG e-wallet or most banking apps:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x