Hitam, putih. Itu dua warna jadi igauan pemerintah saat ini.
Mereka mula menyelongkar asal-usul buat jadi siasatan dan mengerah aparat negara, malangnya bukan untuk bersetiakawan, namun untuk memeras mereka yang mengibarnya pula. Entah apa yang disiasat dan mahu dikerah, kita tidak tahu. Walhal susur-galurnya jelas – A sampai Z, penolakannya berpucuk-pangkal terhadap kebrobokan pemerintah ‘haram’ ini.
Namun, tulisan yang ini tidak akan bercerita tentang semata-mata penolakan. Penolakan sudah tekad. baru-baru di Twitter saja, ratusan ribu dengan tanda palang #BenderaHitam sampailah ke #Lawan, mula bergentayangan. Tiga tuntutannya jelas – undur Mahaiddin Yasin, buka Parlimen, tamat darurat. Apa yang kita mahu cerita di sini, adalah kemungkinan pertentangan politik yang lain serta tanda makna warna yang ada dalam kita menggeluti kemelut hari ini.
Sungguh, apa yang berlaku hari ini jauh dari binari hitam putih. Politik di Malaysia tidak semudah itu. Pun, di antara dua kutub warna ini, kita menemukan titik temu yang barangkali membuka beribu jalan keluar bagi menzahirkan rasa. Mereka yang lapar, mengibar yang putih. Yang memilih hitam, melawanlah. Yang pasti, memilih untuk mengibarkan kedua-dua warna ini membulatkan makna.
Bayangkan, seruan mengangkat bendera putih itu hingar-bingar selisih sehari kerajaan meuar-uarkan bantuan Pemulih-nya yang barangkali terlambat benar. Mengibar yang hitam pula adalah amarah cukup masa menanti letus. Dan makna warna-warna ini, kita, manusia selaku makhluk sosial-lah yang memberinya isi sejarahnya.
- Sign up for Aliran's free daily email updates or weekly newsletters or both
- Make a one-off donation to Persatuan Aliran Kesedaran Negara, CIMB a/c 8004240948
- Make a pledge or schedule an auto donation to Aliran every month or every quarter
- Become an Aliran member
Begini ceritanya. Warna dalam segala abstraknya itu bisa menjadi apa-apa sahaja. Namun, dalam banyak rentetan sejarah, warna mengendong beberapa (jika tidak semua) imaginasi kolektif sesebuah masyarakatnya. Kita tidak akan menemukan sebab-musabab mengapa lukisan purba berupa babi hutan dan kerbau paling ceruk dalam gua di Indonesia itu terbias-bias warna pigmen kemerah-merahan. Kita boleh, jika mahu, menebak mengapa beberapa orang purba itu memilih, antaranya, untuk melukis babi hutan dan tidak pula yang lain. Mengikut beberapa teori, naratif lukisannya itu persis menampilkan sekumpulan babi hutan itu sedang beradu tenaga.
Mungkin, jika dibaca makna dan tanda lukisannya dalam keadaan ahistorikal hari ini, sekonyong-konyongnya, babi itu pun boleh dimakna dan ditanda semacam segerombolan politikus berebut kuasa yang lazim kita temui spesisnya hari ini di Malaysia. Namun, bacaan sebegini jauh menyimpang dari bagaimana tanda dan makna diberikan maksudnya.
Pun, ada caranya untuk kita memahami serba-serbi hal ini. Salah satunya, lewat disiplin ilmu yang dipanggil ‘budaya material’ (material culture). Ringkasnya, segala-gala yang wujud hari ini ada sebab dan akibat mengapa kita memilih sekian-sekian cara pembuatannya sampailah mengapa sesetengah sumber digunapakai. Itu cara kita memahami perkembangan sejarah sesebuah tamadun (atau mereka yang di luar atau pinggiran tamadun juga). Misalnya, pigmen warna merah melukis babi hutan yang purba tadi itu jelas khusus menceritakan asalnya dari mana sehinggalah cara dan alat menukangnya seperti apa. Dan di sela-sela inilah, kita semakin tahu mengapa mereka berbuat itu-ini dari apa yang ada.
Begitu juga dengan segala warna hitam dan putih yang dipacak di Malaysia hari ini. Kita perlu memahaminya seperti sebuah artifak politik: punya makna yang kita perlu perhalusi serta desakan keterbatasan yang wujud dalam masyarakatnya. Dan budaya material cukup rapat dengan hal ini. Kita tidak sepenuhnya tahu mengapa putih yang dipilih untuk dikibarkan bagi mendapatkan bantuan saatnya putih itu seringkali pula ditaksir seperti menyerah kalah atau di dalam Jalur Gemilang, kononnya melambangkan kesucian.
Saya tidak merasakan putih yang dikibar di dalam konteks hari ini terperuk di dalam kutub makna kedua-dua ini saja. Mereka yang mengibarkan putih tidak sepenuhnya kalah dan apa saja makna kesucian di dalam Jalur Gemilang itu sendiri tidak ada sekelumit makna pun buat kita hari ini. Bahkan, dalam mengisi kantung makna dalam kedua-dua warna protes ini, warna-warna itu sendiri ‘terdedah’ pada mereka yang mahu menyendeng, sekaligus memanipulasinya pula. Begitulah bagaimana realiti sosial tidak pernah bergerak sehala dan tidak pula berhenti dari ditandingi.
Dalam konteks bendera putih hari ini, kita perlu membacanya begitu. Beragam warna, hatta secalit corak di dalam bendera tidak akan sakral sendiri. Yang hanya wujud adalah kita, manusia sejarah, yang mengisi maknanya secara berterusan. Begini kata Jacques Rancière dalam eseinya “The Distribution of the Sensible: Politics and Aesthetics”:
The same is true of writing. By stealing away to wander aimlessly without knowing who to speak to or who not to speak to, writing destroys every legitimate foundation for the circulation of words, for the relationship between the effects of language and the positions of bodies in shared space. (p 13)
Benar yang tulisan Rancière ini barangkali hanya merujuk kepada tindakan penulisan semata-mata. Namun, jika kita akrab dengan praksis falsafah Rancière, kita akan serba maklum perihal orientasi tindakan pengeluaran sosio-budayanya (modes of cultural production) itu memang menuju pada perubahan sosial yang radikal. Dalam soal ini, keberadaan makna hitam dan putih yang kita kibarkan hari ini tidak punya tanda makna yang sama bagi mereka yang berkuasa dan dikuasai.
Bayangkan, jika ribuan bendera putih berkibaran – itu bahasa protes yang membuka kemungkinan politik. Kita semakin tahu ada keluarga yang lapar. Dan semakin lama ia berkibar, semakin kita tahu gagalnya kerajaan. Namun, yang dibaca pemerintah adalah sebuah pemberontakan dan pertentangan. Begitulah warna membulat makna politik.
Dan ada sesuatu tentang Perancis yang perlu kita perlu bicarakan. Alang-alang mencedok serangkap Jacques Rancière tadi, kita perlu maklum apa yang melatari begitu banyak ‘hayat’ naskhah politiknya – geloranya Mei 1968 dulu. Saya kurang tahu apa yang dibuat Rancière selain menukang tulisan jika tidak menyusun barisan protes sewaktu musim bunga ketika itu. Yang saya tahu, perbahasan tentang legasi politik protes sebulan lama panjangnya itu masih berjalan – tuntutan politiknya masih terpakai sehingga hari ini.
Sungguh, memahami Mei 1968 bukan sekadar semata-mata sebuah detik kecuali difahami sebagai sebuah peristiwa yang perlu kita telesuri. Di sini, kita melihat apa yang cukup rancak keluar dari sebuah kilang seni, Atelier Populaire, sewaktu revolusi Mei masih hangat. Estetika visual protesnya terus dan tidak ada basa-basi. Produksinya mengguna pakai – teknik cetak saring – dengan satu tujuan: memberi seluas-luas ruang agar protes bahasa dan visualnya sampai secara kolektif kepada masyarakat. Bayangkan, yang masih diteriak di protes-protes seluruh pelusuk dunia masih terngiang-ngiang apa yang berlaku di tahun 1968 itu.
Bendera hitam dan putih yang ada hari ini, itulah. Ia tanda protes bahasa dan visual yang kita maknakan. Semua warga, sekurang-kurangnya punya jalan mengibar kedua-dua warna. Dan tidak ada guna membicarakan estetika dalam sejumud soal cantik hodoh semata-mata dalam hal ini kecuali langsung ke akar makna estetika itu sendiri: apa yang mengerakkan rasa kita secara kolektif.
Berkibarnya hitam dan putih itu adalah ibu segala rasa. Seperti mana kita melihat kuningnya Bersih, merahnya komunis, biru-putih #HartalDoktorKontrak sehinggalah pelangi para queer: warna-warna bersimpang-siur membentuk maknanya menjadi igauan dan adu-domba pemerintah sedari sekian lama. Dan setiap selisih zaman, kita wajib memperdalam tanda makna sesebuah protes bagi menampung tindakan dalam menggerakkan nurani masyarakatnya.
Barangkali, kita telah menemukan tanda maknanya sekarang. Justeru, tidak ada patah balik lagi. Hitam dan putih, makna dan tandanya, itulah yang akan kita isi segenap ruangnya sehingga tidak ada lagi bendera untuk para pemerintah bacul itu berlindung lagi.
Zikri Rahman merupakan seorang ahli Aliran yang juga seorang pekerja budaya dan seni. Beliau aktif menulis dan menerjemah di Malaysia Muda
AGENDA RAKYAT - Lima perkara utama
- Tegakkan maruah serta kualiti kehidupan rakyat
- Galakkan pembangunan saksama, lestari serta tangani krisis alam sekitar
- Raikan kerencaman dan keterangkuman
- Selamatkan demokrasi dan angkatkan keluhuran undang-undang
- Lawan rasuah dan kronisme